Rabu, 14 November 2012

Air Mata Seorang Yusuf Qaradhawi

“Saya takut bila pujian-pujian itu menghilangkan dua pertiga pahala dan hanya tersisa sepertiganya… Saya lebih tahu kekurangan diri saya, daripada orang lain yang menilai saya.”


Itulah yang diucapkan DR Yusuf Al-Qaradhawi, dengan suara terisak sambil meneteskan air mata. Apa yang membuat ulama terkenal dunia ini menangis? Ternyata ia menangis karena dinisbatkan sebagai “Imam” oleh sekitar 100 tokoh Muslim dalam sebuah pertemuan antara Qaradhawi dengan para sahabat dan muridnya dari 30 negara, yang berlangsung di Qatar, akhir pekan kemarin, sebagai penghargaan atas berbagai ijtihad fiqihnya serta pengabdiannya kepada Islam dan kaum Muslimin selama ini.


Tangis Qaradhawi bukan tangis bahagia karena ia diberi gelar kehormatan sebagai “Imam” oleh rekan sejawat dan murid-muridnya-meskipun tanpa diberi gelar kehormatan “Imam” pun, eksistensi Qaradhawi sebagai ulama besar sudah diakui dunia-tapi air mata Qaradhawi adalah air mata kekhawatiran dan  tanda ketawadhuannya sebagai hamba Allah, yang hanya menginginkan keridhoan dan pahala dari Allah semata atas segala yang telah dilakukannya di dunia.

Sikap rendah hati seorang Qaradhawi tercermin saat dengan halus ia menolak gelar “Imam” itu. Ia mengatakan bahwa ia tidak mengharapkan pujian, apalagi penghargaan. Karena pujian dan sanjungan bisa menghapus pahala amal seseorang di hari akhirat, dan menjadi penghalang dari pahala amalan yang dilakukan untuk mencari ridho Illahi.


Beliau mengutip sabda Rasulullah saw, “Tak seorang pejuang yang berjuang di jalan Allah, lalu ia memperoleh ghanimah, kecuali akan dipercepat dua pertiga pahalanya di akhirat, sisanya satu pertiga. Tapi bila dia tidak mendapatkan ghanimah, pahalanya sempurna. ” (HR Bukhari).


Qaradhawi mengatakan, sebutan ”Imam” untuk dirinya tidaklah tepat. “Saya demi Allah bukanlah pemimpin dan bukan seorang imam. Saya hanya seorang prajurit Islam, seorang murid dan akan tetap sebagai murid yang akan terus menuntut ilmu sampai detik terakhir usia saya,” ucap Qaradhawi.

Dengan segala kerendahan hatinya, ulama besar itu mengatakan bahwa dirinya masih memiliki banyak kekurangan dan kelemahan. Bahkan beliau minta maaf kepada siapa saja yang merasa sakit hati karena perkataan maupun perbuatannya.

“Manusia, bisa salah dan benar,” katanya sembari menegaskan kembali cita-cita utamanya untuk mati syahid di jalan Allah swt.

Subhanallah… betapa mulianya sosok seorang Yusuf Qaradhawi. Beliaulah contoh peribahasa “Ibarat padi, semakin berisi, semakin menunduk.”  Orang yang makin banyak ilmunya, makin makin pintar, makin kaya dan makin terkenal, akan makin rendah hati dan bijaksana. Bukannya malah sombong dan membanggakan dirinya.

 Pernahkah kita menangis karena khawatir seperti Al-Qaradhawi ketika ada orang memuji atau memberi kita gelar kehormatan? Yang sering terjadi, kita menangis karena gembira atau bahagia , karena kita merasa banyak orang yang menghormati dan menyenangi kita, hingga kita dipuji, disanjung dan diberi gelar kehormatan.

Ah ….kerendahan hati seorang ulama besar seperti Qaradhawi ibarat setetes embun di padang gersang kehidupan dimana makin banyak orang yang lebih mengejar dunia, mengejar gelar kehormatan, mengejar kekayaan, tanpa menyadari bahwa semuanya itu kelak harus dipertanggunjawabkan di hadapan Allah swt.

 Selayaknya para ulama lainnya mencontoh kepribadian DR Yusuf  Al-Qaradhawi. Yang konsisten memperjuangkan kepentingan kaum Muslimin, menegakkan ajaran Islam, berjuang di jalan Allah swt tanpa mengharapkan pujian dan gelar kehormatan. Semoga Allah swt senantiasa memberikan kesehatan dan melimpahkan kekuatan serta rahmat untuk beliau. Karena umat Islam masih membutuhkan tuntunan dan pengarahan dari ulama seperti beliau. aamiin.

Sumber : http://fisan.wordpress.com/2008/04/02/air-mata-seorang-yusuf-qaradhawi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resensi Buku Fiqh Negara Dr. Yusuf Qardhawi

Judul Asli:  Min Fiqh ad-Daulah fil Islam Terjemahan: Fiqih Negara Penulis : Dr. Yusuf Qardhawy Penerjemah: Syafril Halim Penerbit...